Sabtu, 13 Desember 2014
0
komentar
| ||||
Bersegera dalam Lima Perkara
Oleh: Al-Ustadz
Abdul Qadir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-
Jika kita
mengenal “Lukman Al-Hakim” yang bijak, seorang yang sholih telah diabadikan
hidup dan kisahnya di dalam Al-Qur’an dari kalangan umat yang terdahulu, maka
di tengah umat ini ada seorang ulama yang amat bijak dan berhikmah
kata-katanya, sampai ia digelari dengan “Luqmannya Umat ini”. Itulah Hatim bin
Unwan Al-Ashom Al-Balkhiy [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (11/485)]
Diantara kalam
dan nasihat bijak beliau, ia pernah berkata saat menjelaskan lima perkara yang
dianjurkan padanya bersegera dan bergegas, tanpa ditunda-tunda,
يقال:
العجلة من الشيطان إلا في خمس إطعام الطعام إذا حضر الضيف وتجهيز الميت إذا مات
وتزويج البكر إذا أدركت وقضاء الدين إذا وجب والتوبة من الذنب إذا أذنب
“Dikatakan,
“Ketergesa-gesaan itu dari setan, kecuali dalam lima perkara: menghidangkan
makanan jika tamu telah hadir, mengurusi jenazah jika telah wafat, menikahkan
anak gadis jika telah baligh, menunaikan utang jika telah jatuh tempo, dan
bertobat dari dosa jika telah melakukan dosa”. [HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah
(8/78)]
Hatim Al-Ashom
-rahimahullah- mengisyaratkan kepada kita bahwa sikap tergesa-gesa pada asalnya
adalah tercela. Namun semua itu dikecualikan dalam lima perkara tersebut.
Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
التأني
من الله و العجلة من الشيطان
“Sikap pelan
berasal dari Allah, dan sikap tergesa-gesa berasal dari setan”. [HR. Abu Ya'laa
dalam Al-Musnad (no. 4256) dengan sanad hasan. Lihat Ash-Shohihah (1795)]
Tergesa-gesa
biasanya lahir atas dorongan setan, karena tergesa-gesa akan menghalangi untuk
mengecek dan memperhatikan akibat-akibat perbuatan dan sikapnya.
Kemudian
tergesa-gesa yang tercela adalah dalam perkara selain ketaatan, seiring tanpa
adanya pengecekan dan tanpa rasa takut kehilangan. [Lihat At-Taisir bi Syarh
Al-Jami' Ash-Shogier (1/867)]
Sikap
tergesa-gesa seringkali mewariskan penyesalan bagi pelakunya. Di saat ia
menghadapi sesuatu, ia akan mengambil langkah tergesa-gesa. Di kala itu, ia
menganggap sikap yang ia jalani akan membawanya kepada kebahagiaan. Tapi
ternyata sikapnya meluputkannya dari kebaikan, bahkan merugikan dirinya. Jika
ia luput dari kebaikan dunia, maka masih ada asa untuk memperbaikinya, jika
masih ada jalan. Namun jika ia meluputkan kebaikan ukhrawinya (yang berkaitan
dengan akhiratnya), maka tak ada yang ia petik disana, melainkan penyesalan dan
gigit jari.
Amer bin Al-Ash
-radhiyallahu anhu- berkata,
لا
يزال المرء يجتني من ثمرة العجلة الندامة
“Senantiasa
seseorang akan memetik penyesalan dari sikap tergesa-gesanya. [Lihat At-Taisir
bi Syarh Al-Jami' Ash-Shogier (1/867)]
Dzun Nun
Al-Mishriy -rahimahullah- berkata,
أربع
خلال لها ثمرة: العجلة و العجب و اللجاجة والشره،
فثمرة
العجلة الندامة، و ثمرة العجب البغضة، وثمرة اللجاجة الحيرة، و ثمرة الشره الفاقة
“Ada empat
perkara yang memiliki buah (akibat buruk): Sikap tergesa-gesa, ujub (bangga
diri), perdebatan, dan rakus (tamak).
Maka buah
ketergesa-gesaan adalah penyesalan, buah ujub adalah kejengkelan, buah
perdebatan adalah keragu-raguan, dan buah kerakusan adalah kemiskinan”. [Atsar
Riwayat Al-Baihaqiy Syu'abul Iman (no. 8215)]
Para pembaca
yang budiman, Hatim Al-Ashom -rahimahullah- menggunakan kata (العجلة) yang berarti
“tergesa-gesa”, namun bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau. Tapi maksudnya
adalah “bersegera”.
Ali bin Sulthon
Al-Qori -rahimahullah- berkata,
بون
بين المسارعة والمبادرة إلى الطاعات وبين العجلة في نفس العبادات فالأول محمود
والثاني مذموم
“Ada perbedaan
antara bersegera menuju ketaatan-ketaatan dan antara tergesa-tergesa dalam
ibadah itu sendiri. Maka yang pertama (bersegera) adalah terpuji, sedang yang
kedua (tergesa-gesa) adalah tercela”. [Lihat Mirqoh Al-Mafatih (14/360)]
Contohnya,
seorang disyariatkan untuk bersegera mendatangi panggilan adzan, namun ia tidak
disyariatkan lari tunggang-langgang, karena ia adalah sikap tergesa-gesa yang
tercela.
Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا
سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ
وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ
فَأَتِمُّوا
“Jika kalian
mendengarkan iqomat, maka berjalanlah menuju sholat dan lazimilah ketenangan
dan janganlah terburu-buru. Apa yang kalian jumpai (dari gerakan sholat), maka
lakukanlah dan apapun yang luput bagi kalian, maka sempurnakanlah”. [HR.
Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 636) dan Muslim dalam Shohih-nya (602)]
Al-Imam Ibnu
Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata saat menjelaskan perbedaan antara “bersegera”
(المبادرة),
dan “tergesa-gesa” (العجلة),
أن
المبادرة انتهاز الفرصة في وقتها ولا يتركها حتى إذا فاتت طلبها فهو لا يطلب
الأمور في أدبارها ولا قبل وقتها بل إذا حضر وقتها بادر إليها ووثب عليها وثوب
الأسد على فريسته فهو بمنزلة من يبادر إلى أخذ الثمرة وقت كمال نضلها وإدراكها
والعجلة طلب أخذ الشيء قبل وقته فهو لشدة حرصه عليه بمنزلة من يأخذ الثمرة قبل
أوان إدراكها كلها فالمبادرة وسط بين خلقين مذمومين أحدهما التفريط والإضاعة
والثاني الاستعجال قبل الوقت ولهذا كانت العجلة من الشيطان فإنها خفة وطيش وحدة في
العبد تمنعه من التثبت والوقار والحلم وتوجب له وضع الأشياء في غير مواضعها وتجلب
عليه أنواعا من الشرور وتمنعه أنواعا من الخير وهي قرين الندامة فقل من استعجل إلا
ندم كما أن الكسل قرين الفوت والإضاعة
“Sesungguhnya
bersegera adalah memanfaatkan kesempatan pada waktunya, dan tidak
meninggalkannya sampai jika telah luput, maka ia pun mencarinya. Jadi, ia
tidaklah mencari urusan-urusan itu setelahnya dan tidak pula sebelumnya. Bahkan
jika telah datang waktunya, maka ia bersegera menuju kepadanya, dan ia melompati
(meraih)nya seperti singa menerkam mangsanya. Maka ia sama kedudukannya dengan
orang bersegera mengambil buah saat sempurnanya pemetikan buah itu.
Sedang
ketergesa-gesaan adalah mengambil sesuatu sebelum waktunya. Jadi, ia (orang
yang tergesa-gesa), karena ketamakannya atas hal itu, maka ia sama kedudukannya
dengan orang yang mengambil buah sebelum waktu pemetikannya secara keseluruhan.
Jadi, bersegera
adalah pertengahan di antara dua akhlaq yang tercela. Pertama: keteledoran dan
penyia-nyiaan. Kedua: sikap terburu-buru sebelum waktunya. Oleh karena inilah
“ketergesa-gesaan” berasal dari setan, karena ia adalah kekurang hati-hatian,
kurang berpikir, dan sikap terburu-buru pada diri seorang hamba, yang akan
menghalanginya dari memperjelas (mengecek), bersikap tenang, dan pelan dan akan
menyebabkan baginya peletakan sesuatu bukan pada tempatnya serta akan menyeret
kepadanya berbagai macam keburukan dan menghalanginya dari berbagai macam
kebaikan.
Sikap
tergesa-gesa adalah partner penyesalan. Katakanlah, “Tidaklah ia (seseorang)
tergesa-gesa, kecuali ia akan menyesal”, sebagaimana halnya kemalasan adalah
partner bagi luputnya (sesuatu) dan tersia-siakannya”.
[Lihat Ar-Ruh
fil Kalam ala Arwah Al-Amwaat wal Ahyaa' bid Dala'il minal Kitab was Sunnah
(hal. 258), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1395 H]
Sikap
kehati-hatian amat dibutuhkan oleh seorang hamba dalam mengarungi perjalanan
kehidupannya, terlebih lagi bila ia diperhadapkan dengan sesuatu yang
musytabuhat (yang samar) antara al-haq dan al-batil atau antara kebaikan dan
keburukan.
Orang yang
pandir dan kurang akalnya akan segera mengambil langkah dan sikap, tanpa
memikirkan dengan matang tentang akibat dari langkah dan sikap yang ia tempuh.
Kebanyakan mereka ini, mendahulukan perasaan atas wahyu dan akal sehatnya.
Inilah yang diinginkan oleh setan dalam menimpakan kerugian, penyesalan dan
keburukan bagi hamba tersebut.
Sahabat yang
mulia, Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzaliy -radhiyallahu anhu- berkata,
تكون
أمور مشتبهات فعليكم بالتؤدة فإن أحدكم أن يكون تابعا في الخير خير من أن يكون
رأسا في الشر
“Akan ada
perkara-perkara yang musytabihat (yang samar). Karenanya, lazimilah at-tu’adah
(sikap hati-hati dan pelan). Sebab, sungguh seorang diantara kalian menjadi
pengikut (pengekor) dalam kebaikan, itu lebih baik (baginya) dibandingkan ia
menjadi pemimpin dalam keburukan”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf
(no. 37188), Ibnu Wadhdhoh dalam Al-Bida' wan Nahyu anha (hal. 87), Al-Baihaqiy
dalam Syu'abul Iman (no. 10371) dan lainnya]
Alangkah
banyaknya manusia yang terjerumus dalam keburukan dan kebatilan, akibat sikap
tergesa-gesa yang mencelakakannya. Lebih tragis lagi, bila ia terus terlena
dalam keburukan dan kebatilannya akibat ia diangkat sebagai pemimpin dalam
keburukan dan kebatilan, lalu setan membisikkan ke telinganya bahwa ia tak
mungkin berada di atas keburukan dengan dalih banyaknya manusia yang
mengikutinya dalam perkara keburukan itu.
Hamba ini
tertipu dengan kepemimpinannya dan kedudukan yang ia miliki di tengah manusia.
Ia tak tahu bahwa kepemimpinannya dalam keburukan bukanlah bukti bahwa ia di
atas kebaikan, bahkan hal itu merupakan tipu daya setan!!
Ia tak tahu
bahwa menjadi pengikut dan pengekor dalam kebenaran jauh lebih baik
dibandingkan jadi pemimpin dan punggawa dalam keburukan dan kebatilan.
Subhanallah, orang yang mengetahui hakikat perkara ini akan membenarkan nasihat
mulia dari sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- tersebut.
Terakhir, kami
ingatkan kepada segenap ikhwah (saudara-saudara), jagalah sikap at-tu’adah
(hati-hati dan pelan) dalam mengambil sikap, apalagi di masa fitnah yang
terjadi diantara Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ukurlah segala sesuatu dengan ilmu
dan bimbingan para ulama.[1]
Wa shollallahu
alaihi wa ala alihi wa shohbihi wa sallam[2].
[1] Para ulama,
bukan satu ulama.
[2] Tulisan ini
rampung di rumah kami –semoga Allah memberkahinya- pada tanggal 26 Dzulhijjah
1435 H yang bertepatan dengan 20 Oktober 2014 M
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Ditulis oleh ZUARDI ZAIN
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://zuardizainsakinah.blogspot.com/2014/12/dedy-iskandar-via-mediamusliminfo-group.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh ZUARDI ZAIN
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar