Posted by ZUARDI ZAIN Senin, 22 Desember 2014 0 komentar

Baca Selengkapnya ....
Posted by ZUARDI ZAIN Sabtu, 13 Desember 2014 0 komentar

'Dedy Iskandar' via MediaMuslimINFO Group <mediamusliminfo@googlegroups.com>



Bersegera dalam Lima Perkara

Oleh: Al-Ustadz Abdul Qadir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-

Jika kita mengenal “Lukman Al-Hakim” yang bijak, seorang yang sholih telah diabadikan hidup dan kisahnya di dalam Al-Qur’an dari kalangan umat yang terdahulu, maka di tengah umat ini ada seorang ulama yang amat bijak dan berhikmah kata-katanya, sampai ia digelari dengan “Luqmannya Umat ini”. Itulah Hatim bin Unwan Al-Ashom Al-Balkhiy [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (11/485)]

Diantara kalam dan nasihat bijak beliau, ia pernah berkata saat menjelaskan lima perkara yang dianjurkan padanya bersegera dan bergegas, tanpa ditunda-tunda,

يقال: العجلة من الشيطان إلا في خمس إطعام الطعام إذا حضر الضيف وتجهيز الميت إذا مات وتزويج البكر إذا أدركت وقضاء الدين إذا وجب والتوبة من الذنب إذا أذنب

“Dikatakan, “Ketergesa-gesaan itu dari setan, kecuali dalam lima perkara: menghidangkan makanan jika tamu telah hadir, mengurusi jenazah jika telah wafat, menikahkan anak gadis jika telah baligh, menunaikan utang jika telah jatuh tempo, dan bertobat dari dosa jika telah melakukan dosa”. [HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (8/78)]

Hatim Al-Ashom -rahimahullah- mengisyaratkan kepada kita bahwa sikap tergesa-gesa pada asalnya adalah tercela. Namun semua itu dikecualikan dalam lima perkara tersebut.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

التأني من الله و العجلة من الشيطان

“Sikap pelan berasal dari Allah, dan sikap tergesa-gesa berasal dari setan”. [HR. Abu Ya'laa dalam Al-Musnad (no. 4256) dengan sanad hasan. Lihat Ash-Shohihah (1795)]

Tergesa-gesa biasanya lahir atas dorongan setan, karena tergesa-gesa akan menghalangi untuk mengecek dan memperhatikan akibat-akibat perbuatan dan sikapnya.

Kemudian tergesa-gesa yang tercela adalah dalam perkara selain ketaatan, seiring tanpa adanya pengecekan dan tanpa rasa takut kehilangan. [Lihat At-Taisir bi Syarh Al-Jami' Ash-Shogier (1/867)]

Sikap tergesa-gesa seringkali mewariskan penyesalan bagi pelakunya. Di saat ia menghadapi sesuatu, ia akan mengambil langkah tergesa-gesa. Di kala itu, ia menganggap sikap yang ia jalani akan membawanya kepada kebahagiaan. Tapi ternyata sikapnya meluputkannya dari kebaikan, bahkan merugikan dirinya. Jika ia luput dari kebaikan dunia, maka masih ada asa untuk memperbaikinya, jika masih ada jalan. Namun jika ia meluputkan kebaikan ukhrawinya (yang berkaitan dengan akhiratnya), maka tak ada yang ia petik disana, melainkan penyesalan dan gigit jari.

Amer bin Al-Ash -radhiyallahu anhu- berkata,

لا يزال المرء يجتني من ثمرة العجلة الندامة

“Senantiasa seseorang akan memetik penyesalan dari sikap tergesa-gesanya. [Lihat At-Taisir bi Syarh Al-Jami' Ash-Shogier (1/867)]

Dzun Nun Al-Mishriy -rahimahullah- berkata,

أربع خلال لها ثمرة: العجلة و العجب و اللجاجة والشره،
فثمرة العجلة الندامة، و ثمرة العجب البغضة، وثمرة اللجاجة الحيرة، و ثمرة الشره الفاقة

“Ada empat perkara yang memiliki buah (akibat buruk): Sikap tergesa-gesa, ujub (bangga diri), perdebatan, dan rakus (tamak).

Maka buah ketergesa-gesaan adalah penyesalan, buah ujub adalah kejengkelan, buah perdebatan adalah keragu-raguan, dan buah kerakusan adalah kemiskinan”. [Atsar Riwayat Al-Baihaqiy Syu'abul Iman (no. 8215)]

Para pembaca yang budiman, Hatim Al-Ashom -rahimahullah- menggunakan kata (العجلة) yang berarti “tergesa-gesa”, namun bukan itu yang dimaksudkan oleh beliau. Tapi maksudnya adalah “bersegera”.

Ali bin Sulthon Al-Qori -rahimahullah- berkata,

بون بين المسارعة والمبادرة إلى الطاعات وبين العجلة في نفس العبادات فالأول محمود والثاني مذموم

“Ada perbedaan antara bersegera menuju ketaatan-ketaatan dan antara tergesa-tergesa dalam ibadah itu sendiri. Maka yang pertama (bersegera) adalah terpuji, sedang yang kedua (tergesa-gesa) adalah tercela”. [Lihat Mirqoh Al-Mafatih (14/360)]

Contohnya, seorang disyariatkan untuk bersegera mendatangi panggilan adzan, namun ia tidak disyariatkan lari tunggang-langgang, karena ia adalah sikap tergesa-gesa yang tercela.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

“Jika kalian mendengarkan iqomat, maka berjalanlah menuju sholat dan lazimilah ketenangan dan janganlah terburu-buru. Apa yang kalian jumpai (dari gerakan sholat), maka lakukanlah dan apapun yang luput bagi kalian, maka sempurnakanlah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 636) dan Muslim dalam Shohih-nya (602)]

Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata saat menjelaskan perbedaan antara “bersegera” (المبادرة), dan “tergesa-gesa” (العجلة),

أن المبادرة انتهاز الفرصة في وقتها ولا يتركها حتى إذا فاتت طلبها فهو لا يطلب الأمور في أدبارها ولا قبل وقتها بل إذا حضر وقتها بادر إليها ووثب عليها وثوب الأسد على فريسته فهو بمنزلة من يبادر إلى أخذ الثمرة وقت كمال نضلها وإدراكها والعجلة طلب أخذ الشيء قبل وقته فهو لشدة حرصه عليه بمنزلة من يأخذ الثمرة قبل أوان إدراكها كلها فالمبادرة وسط بين خلقين مذمومين أحدهما التفريط والإضاعة والثاني الاستعجال قبل الوقت ولهذا كانت العجلة من الشيطان فإنها خفة وطيش وحدة في العبد تمنعه من التثبت والوقار والحلم وتوجب له وضع الأشياء في غير مواضعها وتجلب عليه أنواعا من الشرور وتمنعه أنواعا من الخير وهي قرين الندامة فقل من استعجل إلا ندم كما أن الكسل قرين الفوت والإضاعة

“Sesungguhnya bersegera adalah memanfaatkan kesempatan pada waktunya, dan tidak meninggalkannya sampai jika telah luput, maka ia pun mencarinya. Jadi, ia tidaklah mencari urusan-urusan itu setelahnya dan tidak pula sebelumnya. Bahkan jika telah datang waktunya, maka ia bersegera menuju kepadanya, dan ia melompati (meraih)nya seperti singa menerkam mangsanya. Maka ia sama kedudukannya dengan orang bersegera mengambil buah saat sempurnanya pemetikan buah itu.

Sedang ketergesa-gesaan adalah mengambil sesuatu sebelum waktunya. Jadi, ia (orang yang tergesa-gesa), karena ketamakannya atas hal itu, maka ia sama kedudukannya dengan orang yang mengambil buah sebelum waktu pemetikannya secara keseluruhan.

Jadi, bersegera adalah pertengahan di antara dua akhlaq yang tercela. Pertama: keteledoran dan penyia-nyiaan. Kedua: sikap terburu-buru sebelum waktunya. Oleh karena inilah “ketergesa-gesaan” berasal dari setan, karena ia adalah kekurang hati-hatian, kurang berpikir, dan sikap terburu-buru pada diri seorang hamba, yang akan menghalanginya dari memperjelas (mengecek), bersikap tenang, dan pelan dan akan menyebabkan baginya peletakan sesuatu bukan pada tempatnya serta akan menyeret kepadanya berbagai macam keburukan dan menghalanginya dari berbagai macam kebaikan.

Sikap tergesa-gesa adalah partner penyesalan. Katakanlah, “Tidaklah ia (seseorang) tergesa-gesa, kecuali ia akan menyesal”, sebagaimana halnya kemalasan adalah partner bagi luputnya (sesuatu) dan tersia-siakannya”.

[Lihat Ar-Ruh fil Kalam ala Arwah Al-Amwaat wal Ahyaa' bid Dala'il minal Kitab was Sunnah (hal. 258), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1395 H]

Sikap kehati-hatian amat dibutuhkan oleh seorang hamba dalam mengarungi perjalanan kehidupannya, terlebih lagi bila ia diperhadapkan dengan sesuatu yang musytabuhat (yang samar) antara al-haq dan al-batil atau antara kebaikan dan keburukan.

Orang yang pandir dan kurang akalnya akan segera mengambil langkah dan sikap, tanpa memikirkan dengan matang tentang akibat dari langkah dan sikap yang ia tempuh. Kebanyakan mereka ini, mendahulukan perasaan atas wahyu dan akal sehatnya. Inilah yang diinginkan oleh setan dalam menimpakan kerugian, penyesalan dan keburukan bagi hamba tersebut.

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzaliy -radhiyallahu anhu- berkata,

تكون أمور مشتبهات فعليكم بالتؤدة فإن أحدكم أن يكون تابعا في الخير خير من أن يكون رأسا في الشر

“Akan ada perkara-perkara yang musytabihat (yang samar). Karenanya, lazimilah at-tu’adah (sikap hati-hati dan pelan). Sebab, sungguh seorang diantara kalian menjadi pengikut (pengekor) dalam kebaikan, itu lebih baik (baginya) dibandingkan ia menjadi pemimpin dalam keburukan”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (no. 37188), Ibnu Wadhdhoh dalam Al-Bida' wan Nahyu anha (hal. 87), Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (no. 10371) dan lainnya]

Alangkah banyaknya manusia yang terjerumus dalam keburukan dan kebatilan, akibat sikap tergesa-gesa yang mencelakakannya. Lebih tragis lagi, bila ia terus terlena dalam keburukan dan kebatilannya akibat ia diangkat sebagai pemimpin dalam keburukan dan kebatilan, lalu setan membisikkan ke telinganya bahwa ia tak mungkin berada di atas keburukan dengan dalih banyaknya manusia yang mengikutinya dalam perkara keburukan itu.

Hamba ini tertipu dengan kepemimpinannya dan kedudukan yang ia miliki di tengah manusia. Ia tak tahu bahwa kepemimpinannya dalam keburukan bukanlah bukti bahwa ia di atas kebaikan, bahkan hal itu merupakan tipu daya setan!!

Ia tak tahu bahwa menjadi pengikut dan pengekor dalam kebenaran jauh lebih baik dibandingkan jadi pemimpin dan punggawa dalam keburukan dan kebatilan. Subhanallah, orang yang mengetahui hakikat perkara ini akan membenarkan nasihat mulia dari sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- tersebut.

Terakhir, kami ingatkan kepada segenap ikhwah (saudara-saudara), jagalah sikap at-tu’adah (hati-hati dan pelan) dalam mengambil sikap, apalagi di masa fitnah yang terjadi diantara Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ukurlah segala sesuatu dengan ilmu dan bimbingan para ulama.[1]

Wa shollallahu alaihi wa ala alihi wa shohbihi wa sallam[2].

[1] Para ulama, bukan satu ulama.
[2] Tulisan ini rampung di rumah kami –semoga Allah memberkahinya- pada tanggal 26 Dzulhijjah 1435 H yang bertepatan dengan 20 Oktober 2014 M


Baca Selengkapnya ....

KETIKA DUNIA MENJADI HARGA KEYAKINAN

Posted by ZUARDI ZAIN Minggu, 29 Juni 2014 0 komentar



إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّىٰ إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَن لَّمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ ۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24)




[mediamusliminfo] Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan







Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbeda-beda. Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut, Allah menzalimi mereka. Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Terjadinya, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.

Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar. Tahukah Anda, di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar?

Cermati, lihat, dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya. Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia. Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir, ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan.

Dunia telah memikat, menjerat, membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.

Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)

Allah Subhanahuwata’ala mencela Dunia

“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Ali Imran: 185)

“Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepada Allah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15)

“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32)

“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. Kemudian Kami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24)

“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)

“Sesungguhnya janji-janji Allah itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33)

Ketika membahas tafisr surat al-Fath, as-Sa’di menerangkan, “Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mencela Dunia

Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apa yang kalian perbuat(dengan duniaitu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu )

“Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorang perawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu )

“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu )

Rasulullah tidur diatas sebuah tikar. Tikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.at-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu )

“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu )

Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Tentu tujuannya agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.

1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya. Yang penting, segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai.

2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.

Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu.

Dunia, Sumber Malapetaka

Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

Dunia pula yang menghancurkan persatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.

Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.

Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran

Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. Allah  berfirman,

“Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.”( al-Ahzab:7 2)

Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya. Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.

Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbangga-bangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorang berpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin

Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650)

Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya.

Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.

Dunia, Sebab Utama Kesesatan

Saat menafsirkan firman Allah,

“Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)

Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah.

Akhirnya, mereka mengubah ciri-ciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22)

Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anak saudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang tepercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”

Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah, melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.

Jadi, asal muasal cintanya adalah karena sebuah kedudukan. Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai dari pada anak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244)

Asy – Syaukani  berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)

Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan.

Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’

Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin?

Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’

Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orang Yahudi saat mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil YahudiwanNashara hlm. 12)


Dedy Iskandar dysar06@yahoo.co.id

Baca Selengkapnya ....